Sore ini langit begitu cerah. Melihat ke atas matahari masih
tampak bersemangat. Cahayanya membuat para ibu-ibu senang karena kering pakaian-pakaian
mereka. Kali ini taman sedang ramai di kunjung banyak orang. Anak-anak
berlarian kesana kemari . Angin semilir pun menyapa rambut para pedagang
asongan yang tangkas melayani anak-anak membeli ini itu. Juga membawa aroma segar
daun-daun dari kebun disebelah belakang taman kota ini.
Belum lagi matahari tergelincir, taman ini semakin padat
manusia. Duduk diantara sela-sela taman itu seorang anak laki-laki. Melebur
dalam riuhnya manusia bercanda dan tawa. Namun ia tidak pula melebarkan bibir
untuk sepotong senyum. Merenung ia di kursi taman itu. Berkerut dahi. Keras berfikir.
Menatap dengan kosong. Bunga-bunga di sebelahnya seakan ingin bertanya, "mengapa
ramai orang engkau malah termenung?"
Sudah satu tahun ia berada di kota ini. Merantau ia dari
tanah lahirnya. Tanah Jawa nan subur lagi makmur. Meninggalkan keluarga, ayah bunda dan saudara
dengan air mata. Mencari ia sepeser demi sepeser rupiah. Mengabdikan diri
menjadi pegawai Negara. Damar ia mendapat nama dari sang ayah bunda. Masih segar
pula tubuhnya yang mengalir darah remaja. Masih berkisar 20 tahun usianya. Namun kini berat lagi jalan hidupnya.
Apa pasal gerangan nasib berberat-berat ia bawa ketanah
minyak ini? Adalah ia anak ke dua dari pasangan hidup ayah bunda yang semakin
menua. Ayahnya telah lama purna dalam kerja. Menghidupi kini Istri dan anak
bungsu yang masih bersekolah di bangku SMA dengan pengahasilan seadanya. Sang bunda
hanya dirumah mengurus ayah yang kadang-kadang kambuh sakitnya. Sementara sang
kakak telah lulus kuliah namun belum bekerja tetap. Pernah beberapa kali ia mendedikasikan diri dalam
perusahan-perusahaan besar, namun nasib tidak menuntun rezekinya. Hanya beberapa
bulan bekerja, ia keluar kemudian. Tak betah, tak bercocok peri dengan atasan,
sedikit upah, begitu keluh-keluhnya. Dan kini ia menjadi penganggur rezeky. Hilang
asa bekerja dalam dirinya.
Damar, dirinya kini bekerja dengan upah lumayan. Telah setahun
ia berada di tanah Kalimantan. Tinggal dalam rumah kontrakan seadanya. Karena di
kota ini semua serba mahal. Dua kali lipat biaya hidupnya di banding tanah Jawa
sana. Ia harus pintar-pintar berbagi hitung atas upah yang diterima bulanan. Karena
teringat ayah bunda yang sudah menua dengan pengahsilan pas-pasan. Tak pernah
ia lupa berkirim uang agar ayah bunda disana tidak kekurang makan pagi dan
petang.
Pernah malam itu sang bunda meneleponnya. "Nak, Ayahmu
kambuh lagi sakitnya. Bersikeras Ayah minta untuk dirawat di rumah saja, namun
tak tahan Bunda melihat kondisinya. Bergotong dengan kakakmu Bunda memaksa Ayah
membawa ke rumah sakit."
"Innalillah.. ayah.. sakit lagi.. Bagaimana keadaan
ayah saat ini , bunda?" sedikit isak, Damar membalas sahut percakapan dengan
bunda di hujung-hujung telefonnya. Tapi tetap tegar ia cuba bercakap santun.
"Sedang tidur, nak. Dokter memberikan obat siang tadi.
Cukup serius nampaknya. Infuspun juga terpasang di nadi kirinya. Ayah lemah,
sering berdiam diri pula." Jawab sang bunda, haru.
"Nak, Bunda tak sedang ingin membuatmu beberat jasa
dan khawatir tentang kami disini, tapi.. bisa kah nak Damar berkirim uang lagi
untuk pengobatan ayah. Uang Bunda sudah habis untuk menebus biaya rumah sakit. Obat-obatan
kini belum pula tertanggung. Kakak mu, kau tau bagaimana ia. Tak ada pengaharapan
Bunda padanya. Sulit pula keuangan kami disni nak." Titik-titik dari mata
bunda membasahi pipi.
"Uang nanda uang
Ayah Bunda pula. Tak berapa Bunda pinta, pasti cuba nanda meberikannya. Akan nanda
kirim malam ini juga Bunda. Segera Bunda. Segera.." Damar semakin
terisak. Tak tahan bulir air di matanya. Tertumpah jua sinar batin itu. Menangis
sedu.
---bersambung---
sediiihh, ikut membayangkan
BalasHapussediiihh, ikut membayangkan
BalasHapusBaru awal sdh sedih beb...ðŸ˜
BalasHapusSedih..pernah mengalami seperti Di cerita
BalasHapus