Rusuk dan Tulang Punggung (1)


Sore ini langit begitu cerah. Melihat ke atas matahari masih tampak bersemangat. Cahayanya membuat para ibu-ibu senang karena kering pakaian-pakaian mereka. Kali ini taman sedang ramai di kunjung banyak orang. Anak-anak berlarian kesana kemari . Angin semilir pun menyapa rambut para pedagang asongan yang tangkas melayani anak-anak membeli ini itu. Juga membawa aroma segar daun-daun dari kebun disebelah belakang taman kota ini.

Belum lagi matahari tergelincir, taman ini semakin padat manusia. Duduk diantara sela-sela taman itu seorang anak laki-laki. Melebur dalam riuhnya manusia bercanda dan tawa. Namun ia tidak pula melebarkan bibir untuk sepotong senyum. Merenung ia di kursi taman itu. Berkerut dahi. Keras berfikir. Menatap dengan kosong. Bunga-bunga di sebelahnya seakan ingin bertanya, "mengapa ramai orang engkau malah termenung?"

Sudah satu tahun ia berada di kota ini. Merantau ia dari tanah lahirnya. Tanah Jawa nan subur lagi makmur.  Meninggalkan keluarga, ayah bunda dan saudara dengan air mata. Mencari ia sepeser demi sepeser rupiah. Mengabdikan diri menjadi pegawai Negara. Damar ia mendapat nama dari sang ayah bunda. Masih segar pula tubuhnya yang mengalir darah remaja. Masih berkisar 20 tahun usianya.  Namun kini berat lagi jalan hidupnya.

Apa pasal gerangan nasib berberat-berat ia bawa ketanah minyak ini? Adalah ia anak ke dua dari pasangan hidup ayah bunda yang semakin menua. Ayahnya telah lama purna dalam kerja. Menghidupi kini Istri dan anak bungsu yang masih bersekolah di bangku SMA dengan pengahasilan seadanya. Sang bunda hanya dirumah mengurus ayah yang kadang-kadang kambuh sakitnya. Sementara sang kakak telah lulus kuliah namun belum bekerja tetap. Pernah beberapa kali ia mendedikasikan diri dalam perusahan-perusahaan besar, namun nasib tidak menuntun rezekinya. Hanya beberapa bulan bekerja, ia keluar kemudian. Tak betah, tak bercocok peri dengan atasan, sedikit upah, begitu keluh-keluhnya. Dan kini ia menjadi penganggur rezeky. Hilang asa bekerja dalam dirinya.

Damar, dirinya kini bekerja dengan upah lumayan. Telah setahun ia berada di tanah Kalimantan. Tinggal dalam rumah kontrakan seadanya. Karena di kota ini semua serba mahal. Dua kali lipat biaya hidupnya di banding tanah Jawa sana. Ia harus pintar-pintar berbagi hitung atas upah yang diterima bulanan. Karena teringat ayah bunda yang sudah menua dengan pengahsilan pas-pasan. Tak pernah ia lupa berkirim uang agar ayah bunda disana tidak kekurang makan pagi dan petang.

Pernah malam itu sang bunda meneleponnya. "Nak, Ayahmu kambuh lagi sakitnya. Bersikeras Ayah minta untuk dirawat di rumah saja, namun tak tahan Bunda melihat kondisinya. Bergotong dengan kakakmu Bunda memaksa Ayah membawa ke rumah sakit."

"Innalillah.. ayah.. sakit lagi.. Bagaimana keadaan ayah saat ini , bunda?" sedikit isak, Damar membalas sahut percakapan dengan bunda di hujung-hujung telefonnya. Tapi tetap tegar ia cuba bercakap santun.

"Sedang tidur, nak. Dokter memberikan obat siang tadi. Cukup serius nampaknya. Infuspun juga terpasang di nadi kirinya. Ayah lemah, sering berdiam diri pula." Jawab sang bunda, haru.

"Nak, Bunda tak sedang ingin membuatmu beberat jasa dan khawatir tentang kami disini, tapi.. bisa kah nak Damar berkirim uang lagi untuk pengobatan ayah. Uang Bunda sudah habis untuk menebus biaya rumah sakit. Obat-obatan kini belum pula tertanggung. Kakak mu, kau tau bagaimana ia. Tak ada pengaharapan Bunda padanya. Sulit pula keuangan kami disni nak." Titik-titik dari mata bunda membasahi pipi.

"Uang nanda uang Ayah Bunda pula. Tak berapa Bunda pinta, pasti cuba nanda meberikannya. Akan nanda kirim malam ini juga Bunda. Segera Bunda. Segera.." Damar semakin terisak. Tak tahan bulir air di matanya. Tertumpah jua sinar batin itu. Menangis sedu.


---bersambung---

Komentar

Posting Komentar